Kamis, 08 Oktober 2009

KITA, MALAYSIA DAN BUDAYA


Oleh: FERRY FAUZI HERMAWAN
LAYAKNYA hidup bertetangga, seringkali terjadi percekcokkan di antara dua keluarga yang berbeda. Entah itu karena salah paham atau ketidakmengertian dalam menyikapi suatu hal. Begitu pun yang terjadi antara hubungan Indonesia dengan Malaysia. Bukan rahasia lagi apabila hubungan kedua negara sering naik turun.

Masalah-masalah seperti keamanan, batas wilayah, ketenagakerjaan, ataupun budaya menjadi silang sengketa yang tak ada habisnya. Yang paling mutakhir adalah klaim Malaysia atas tari pendet dan ulah para blogger-nya yang melecehkan lagu kebangsaan serta lambang negara kita.

Memang ini bukanlah yang pertama. Klaim atas budaya ataupun pelecehan terhadap simbol negara pernah terjadi berkali-kali. Namun, pernahkah kita bertanya mengapa hal itu sampai terjadi berkali-kali? Mengapa Malaysia tak jera melakukan perbuatan yang sama?


Meminjam kata-kata seorang wartawan, selama ini masyarakat kita hanya baru bisa bicara, belum bisa mengapresiasi. Tengok saja berapa banyak festival budaya yang diadakan setiap tahunnya di negara kita. Kalaupun diadakan, berapa banyak masyarakat kita yang menghadirinya.

Masyarakat kita lebih silau akan produk budaya yang ditawarkan pihak asing. Entah itu pakaian, makanan, ataupun gaya hidup. Seberapa banggakah kita saat memakai pakaian tradisional seperti pangsi misalnya?

Hal ini diperparah dengan ketidakacuhan pemerintah dalam menjaga hasil kreasi warganya. Karya-karya anak bangsa tidak banyak yang dipatenkan. Pengenalan budaya terhadap pihak luar memble. Akan tetapi, ketika ada tetangga yang mengklaim hasil budaya itu, barulah kita seperti kebakaran jenggot. Demo di sana-sini. Teriak di mana-mana. Kita marah, bahkan sampai berani berperang.

Padahal jika mau jujur, selama ini penghargaan kita terhadap kebudayaan sendiri begitu minim. Kesadaran untuk memelihara dan melestarikan produk budaya masih jauh panggang dari pada api. Tak ada kebanggaan pada diri kita akan budaya. Sangat ironis, Indonesia yang digadang-gadang mempunyai aneka macam kebudayaan, ternyata tidak dihargai oleh masyarakatnya sendiri.

Lalu, sampai kapankah kita akan berperilaku seperti ini? Meratapi masa lalu bukanlah hal yang baik. Begitu pun saling hujat dan mengadu urat. Sudah saatnya kita mengubah cara pandang terhadap budaya. Budaya tidak lagi dianggap sebagai produk kuno yang sudah ketinggalan zaman. Akan tetapi, warisan masa lampau yang harus kita lestarikan agar identitas bangsa tetap terjaga. Seperti yang dikatakan salah seorang pengarang, manusia bisa dikatakan manusia apabila ia sudah mampu menghargai kebudayaannya sendiri, nah. (Penulis, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra/FPBS UPI Bandung)

Diupload oleh : ans (-) | Kategori: Berita Koran Pendidikan | Tanggal: 06-10-2009 00:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar